Syariat Islam dan Tantangan Zaman
Bagi kaum
Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya, adalah
sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus
diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.
Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam
salah satu acara debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya
menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step
by step... karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung
(konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa
menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi
Syariat Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan
Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Diantara
sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah
bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif
terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an
dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan
zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat
manusia hari ini. Padahal, kata mereka ‘kemaslahatan’
merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri. Apabila sesuatu
hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah
selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih
dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka
gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Leonard Binder mengungkap pandangan semacam itu (1988:4) “the
language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation,
but the content and meaning of revelation is not essentially verbal.
Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort at understanding which is based on the
words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or
revealed language.”
Jadi,
kata mereka, yang penting dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah
esensinya; bukan makna literalnya. Yang penting tujuannya, bukan bentuk
hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al-Qur’an). Kelompok ini kata al-Qaradawi selalu menggunakan konsep Maqasid Syariah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nash al-Qur’an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum esensialis ini akhirnya menolak hukum hudud, qishas, jilbab, hukum waris, poligami dan sebagainya.
Argumen esensialis
Menurut hemat saya kerangka berpikir kaum esensialis ini dibangun atas dua fondasi. Pertama, pandangan
mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respon langsung kepada struktur
sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang opresif, politik yang
despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai jawaban
terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang
bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan
humanisasi yang sebenarnya tujuan utamannya dalah menciptakan keadilan (al-adalah) dan persamaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah).
Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The
Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s
mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia,
particularly to the problems of the commercial Meccan society of his
day.”
Dengan
kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat
dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem
hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya,
serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini,
katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk
mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman
sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Saat
menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti
hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya, pemikir liberal Abdullah an-Na’im (1990:59) mengatakan bahwa: “the
public law of Shari’a was fully justified and consistent with
historical context. But it does not make it justified and consistent
with present context. Furthermore, given the concrete realities of the
modern nation-state and present international order, these aspects of
the public law of Shari’a are no longer politically tenable.”
Kedua, -- masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak
kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah
mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia.
Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab, hukum
potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan
kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang
kasar dan ganas, katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad
‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan
peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang
pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).
Nash dan Tujuan Syariat
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah)
mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum
yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga
kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah
juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin
kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian
masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap
menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer
dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan
kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat
sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah).
Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah
seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah
berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat
tidak mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Berdasarkan keyakinan
inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas,
waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini
karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) menuliskan: “The
application of the hudud is mandatory and no one h as the right to
avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the
divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” Ditempat lain dia juga menyatakan: “According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10) Di halaman lain dia kembali menegaskan: ‘All the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qath’yi al-tsubut wa al-dilalah (72)
Anggapan
bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari
ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti (1992:
103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting
dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur
ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa
kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si
kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat,
menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan
Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf
(orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah
buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan.
Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan
penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu.
Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
Itulah
prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya,
banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan
ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul
syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas,
misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep
ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat.
Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan
batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar,
tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi
yang langsung menyaksikan peristiwa zina. Dan ini teramat sulit
dipenuhi.
Yang
lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep
keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya,
sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas
takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar